WELCOME TO OUR HOME
SANJAYA
Kesuksesan keluarga Sanjaya bermula pada tahun 1951 ketika Sanjaya bersaudara, yaitu Damar dan Yoga membuat sebuah perusahaan rokok yang diberi nama Djaya51. Pada mulanya, sebagaimana perusahaan jaman dahulu, Djaya51 juga belum dilengkapi dengan teknologi mesin bahkan keduanya hanya memanfaatkan garasi rumah sebagai 'pabrik' sekaligus kantor mereka. Produk unggulan mereka adalah sigaret kretek tangan (SKT), yakni rokok kretek yang dibuat dengan metode manual menggunakan tangan manusia. Produksi mereka terbilang besar, sejarah itulah yang melahirkan buruh linting rokok Djaya yang terampil.
Pada tahun 1964, Yoga Sanjaya dan sang istri memutuskan untuk bercerai karena Lita yang merupakan istri Yoga merasa bahwa Yoga tidak bisa menghidupi keluarga kecil mereka itu. Setelah diputuskan, hak asuh anak pun jatuh ke tangan Lita. Yoga sempat merasa kehilangan semangat hidup karena satu-satunya alasannya untuk membangun perusahaan rokok itu adalah istri dan kedua anaknya. Terlebih lagi ia mendengar kabar bahwa sang istri menikah lagi dan membawa kedua anaknya ke Belanda, negara asal suaminya yang baru. Tak ingin berlama-lama dalam kesedihan, ia pun kembali bangkit dan kembali meneruskan apa yang sudah ia mulai dengan adiknya, Damar.
Memasuki awal tahun 1970-an, Djaya51 mulai memperkenalkan teknologi mesin. Maka lahirlah produk sigaret kretek mesin (SKM). Dengan bantuan teknologi mesin, kuantitas produksi Djaya51 secara otomatis turut meningkat. Peningkatan kuantitas produksi yang dilakukan Djaya51 juga diikuti dengan pengembangan kualitas. Hal itu dibuktikan dengan berdirinya Research and Development Center untuk peningkatan mutu bahan baku dan citarasa produk-produk mereka. Tak ayal, tahun 70-an adalah momentum bagi perusahaan Djaya. Pada tahun 1972, mereka mulai mengekspor kretek buatannya ke berbagai negara.
Pasar perokok yang besar di Indonesia, juga diimbangi dengan kualitas bahan baku serta inovasi untuk menghasilkan cita rasa premium khas Djaya51, mereka perlahan tumbuh dan membesar. Kini, tak bisa disangkal kalau Djaya51 adalah salah satu raksasa industri rokok di Indonesia dengan jumlah kekayaan yang sangat melimpah. Kekayaan Djaya juga dihasilkan dari hasil investasi sebesar 80% di BCA.
Sayangnya, di tengah masa kesuksesan tersebut, Yoga Sanjaya meninggal dunia akibat tabrakan hebat yang ia alami sepulangnya ia dari perjalanan dinas di Kudus. Kecelakaan tersebut membuat Damar Sanjaya harus mengurus perusahaan mereka sendiri yang terkadang dibantu oleh sang adik bungsu, Fany Sanjaya. Namun, pada tahun 1980-an Fany Sanjaya memutuskan untuk melepas semua jabatannya dan memutuskan untuk tinggal bersama sang suami di Eropa. Akhirnya, Damar terpaksa harus melanjutkan sendiri perusahaannya dibantu oleh sang anak sulung, Petra Riadi Sanjaya.
Masing-masing anak Damar mempunyai passionnya masing-masing, satu persatu pun mulai membangun perusahaannya sendiri tentunya mendapatkan suntikan dana dari perusahaan rokok yang ia punya. Pada awal tahun 1993, Hendra Mahardika Sanjaya yang merupakan anak kedua membangun perusahaan real estate miliknya sendiri yang dibantu oleh sang istri. Jatuh bangun ia rasakan kala itu namun berkat kegigihannya, ia berhasil mendirikan PT. Sanjaya Residence.
Tepatnya pada tahun 1997-1998, saat terjadi krisis moneter di Indonesia, sang pemilik BCA tidak mampu memegang kendali atas perusahaannya saat itu. Akhirnya, saham milik BCA pun dibeli oleh sang kakek yang kala itu berpikir bahwa peluang bisnis di sana cukup besar. Berkat kekayaan yang melimpah tersebut itulah, Damar menginvestasikan hartanya kepada anak ketiganya, Hengky Sanjaya yang saat itu tengah berusaha mengembangkan bisnis elektronik miliknya. Dan tepatnya pada tahun 1998, Elektronik Sanjaya pun resmi didirikan.
Damar merasa senang atas kesuksesan kedua anak laki-lakinya itu. Maka, pada tahun 2000 ia dan keempat anaknya pun resmi mendirikan Sanjaya Group di mana perusahaan itu menaungi Djaya51, PT. Sanjaya Residence, dan Elektronik Sanjaya.
Melihat perkembangan jaman yang semakin hari semakin berkembang, Dewa Anggoro Sanjaya yang merupakan anak keempat Damar seolah tidak mau kalah dengan kedua kakaknya tersebut. Ia pun membuka peluang bisnisnya sendiri, membuka bengkel kecil-kecilan pada tahun 2002 yang lambat laun semakin besar dan diburu oleh para pecinta otomotif di Indonesia yang dikenal dengan sebutan Sanjaya Auto Wheels yang berada di bawah naungan Sanjaya Group. Bisnis ini bisa dikatakan sukses karena ia berhasil membuka beberapa cabang untuk usahanya tersebut.
Keempat anak-anak Damar bisa dikatakan sukses dalam berkarir dan meniti perusahaan mereka sendiri tentunya berkat bantuan dana yang selalu ia berikan kepada anak-anaknya tersebut. Selain memberikan dana, ia juga menginvestasikan uangnya di perusahaan mereka. Uang hasil investasi tersebut tidak pernah ia ambil melainkan selalu ia berikan, ia bagi rata dengan cucu-cucunya. Ya, Damar memang sebaik itu.
Sanjaya Group kini dipimpin oleh Damar Sanjaya sebagai direktur utama, sedang sang istri memegang peran sebagai komisaris. Kekosongan posisi CEO pada Djaya51 pun digantikan oleh anak sulungnya, yakni Petra Riady Sanjaya. Semua urusan yang bersangkutan dengan Djaya51 kini berada dalam kendalinya. Itu berarti perkembangan Djaya51 menjadi tanggung jawab Petra sepenuhnya.
Tidak berhenti sampai di sana, kini generasi keempat dari keluarga Sanjaya pun mulai bekerja keras untuk menggantikan posisi ayah mereka di masing-masing perusahaan yang telah mereka dirikan. Bukan hal yang mudah untuk benar-benar bisa menggantikan posisi pemimpin saat ini karena ada banyak hal yang harus mereka lalui. Saat ini, mereka juga menempuh jalan mereka masing-masing sebelum benar-benar dikatakan layak untuk menggantikan posisi pemimpin baik di Djaya51, PT. Sanjaya Residence, Elektronik Sanjaya, maupun Sanjaya Auto Wheels.
Lalu, bagaimana kelanjutan cerita anak-anak generasi keempat Sanjaya?
FAMILY MEMBER
THE 1ST PILLAR
Soon
THE 2ND PILLAR
Anak ketiga dari Ismawan, yaitu Kirana Ranupatma dipersunting oleh seorang konglomerat asal Surabaya bernama Hendra Mahardika Sanjaya yang saat itu memulai karirnya tuk merintis sebuah perusahaan di bidang real estate. Pertemuan keduanya cukup unik, di mana saat itu Hendra mempunyai project untuk kantornya, membuat seragam baru untuk semua karyawannya. Dikenalkan oleh salah satu teman, Hendra pun setuju untuk mengajak Kirana yang berprofesi sebagai designer dan mempunya butik sendiri untuk bekerjasama dalam project tersebut. Namun, siapa yang menyangkai bahwa ikatan bisnis itu berubah menjadi pundi-pundi cinta yang membuat keduanya pada akhirnya memutuskan untuk menikah?
Keduanya memutuskan untuk menikah pada tahun 1990 dan dikaruniai anak pertama, yaitu Thalia Isabella Sanjaya yang lahir pada tahun 1992. Kelahiran anak pertama ini tentu membuat Hendra semakin semangat untuk terus membangun bisnisnya, terlebih lagi ia merasa mempunyai tanggungjawab lain, mengurus istri dan putri sulungnya. Dua tahun setelah kelahiran Thalia, keduanya kembali dikaruniai seorang anak perempuan yang lahir pada tahun 1994. Putri kecil itu mereka beri nama Keanna Maizura Sanjaya.
Namun, kekhawatiran Hendra muncul, mengingat kedua anaknya adalah seorang perempuan. Setidaknya, ia harus mempunyai satu anak laki-laki yang kelak akan melanjutkan bisnisnya. Terus mencoba walau sekali mereka harus kehilangan bayi laki-laki yang dikandung oleh Kirana karena kecerobohan keduanya saat itu. Sedih? Sudah pasti. Tetapi mereka terus berdoa agar diberikan keturunan laki-laki. Rupanya, doa pasangan suami istri itu terkabulkan karena pada tahun 1998 lahirlah seorang bayi laki-laki yang seolah melengkapi kebahagiaan keluarga kecil tersebut. Anak itu mereka beri nama Nino Alfiano Sanjaya yang saat itu terlahir dengan tubuh yang lebih panjang dari bayi pada umumnya, gen Hendra melekat kuat dalam diri sang adam.
Selagi sibuk mengurus Nino yang saat itu masih berusia dua tahun, pasutri itu juga sibuk menyekolahkan kedua anak gadis mereka dan memberikan pendidikan yang layak untuk mereka. Tak terpikir bagi mereka untuk kembali menambah keturunan. Tetapi, jika Tuhan berkehendak apa boleh buat? Akhirnya pada pertengahan tahun 1999, Kirana dinyatakan hamil untuk yang keempat kalinya. Terpaut usia yang tidak terlalu jauh dengan Nino, tepat pada tanggal 12 April tahun 2000, di salah satu rumah sakit di Surabaya, lahirlah anak keempat dari pasangan Hendra Sanjaya dan Kirana Ismawan yang diberi nama Audrey Ilona Jane S. Sanjaya.
Keempat anaknya tumbuh dan berkembang sebagaimana anak-anak pada umumnya. Melihat anak-anaknya seperti itu membuat keduanya semakin semangat untuk menjalankan bisnis masing-masing terlebih saat itu Kirana yang mulai memperluas bisnisnya dan menggaet beberapa brand ternama. Tentu hal ini dilakukan agar ekonomi keempat anaknya tetap terpenuhi walau keduanya memang sudah berlatar belakang keluarga yang cukup kaya dan terpandang.
PT. Sanjaya Residence yang dirintis Hendra juga tumbuh semakin pesat, Hendra semakin disibukkan untuk bertemu para investor baik dari dalam maupun luar negeri. Kirana yang kembali dalam keadaan hamil anak kelima tetap setia mendampinginya. Kehadiran Kirana seakan membuat usaha Hendra semakin berjalan lancar. Pada tahun 2003, lahirlah anak kelima mereka bernama Mettasha Silawarti Kusumaningrum Sanjaya. Anak bungsu Hendra tumbuh sedikit berbeda dari anak-anaknya yang lain, dapat dibilang Mettasha bisa melihat apa yang orang lain tak bisa lihat, hal itu cukup membuat Hendra dan Kirana terkejut. Akhirnya, saat Tasha ingin masuk sekolah dasar, ia dikirimkan ke kampung halaman dan tinggal di sana selama 6 tahun.
Baik Hendra maupun Kirana sebetulnya tidak ada yang memberikan perlakuan khusus untuk salah satu anaknya. Semua anaknya sama rata diberikan fasilitas yang memadai dengan segala keperluan akademik maupun non-akademik yang berkualitas. Tidak jarang anak dari keluarga Sanjaya ini dikenal sebagai anak dengan akademis yang bagus dan memiliki sopan santun yang baik.
Semakin bertambahnya usia baik Hendra, Kirana, dan keempat anaknya, harapan dan keinginan Hendra pun semakin besar. Terlebih ia harus memikirkan kepenerusan usaha yang bisa ia tinggalkan kapan saja mengingat umurnya tidak muda lagi. Sering kali hal ini membuat Hendra maupun Kirana seakan menekan anak-anaknya untuk bisa menggeluti dunia bisnis, terlebih di dunia Real Estate seperti milik Ayahnya terlebih bagi sang anak laki-laki yang sudah pasti akan ia berikan titah untuk memimpin perusahaannya kelak.
THE 3RD PILLAR
Keluarga Hengky Sanjaya dan Avantika merupakan keluarga yang terlihat harmonis diluar namun sebenarnya sangat retak di dalam. Pasangan tersebut dikaruniai 4 orang anak lelaki dan 2 orang anak perempuan. Keenam saudara tersebut sendiri berada dalam tekanan sang ibu, Avantika karena pribadi sang ibu yg merupakan seorang yg tegas dan keras. Perubahan sikap itu semakin terlihat dan menimbulkan keretakan semenjak Arsha, anak ketiga dari 6 saudara itu mengalami kecelakaan diumurnya 4 tahun dan membuatnya kritis dan menjalani berbagai perawatan. Sang ibu semakin keras dalam mendidik dan menjaga anak-anaknya, hingga membuat 3 dari anaknya memilih untuk pergi dari rumah dan tak berhubungan dengan sang ibu, disatu sisi sang ayah sendiri tak bisa menahan anaknya juga amarah sang ibu, Hengky memilih diam-diam mendukung anak-anaknya dibelakang.
THE 4TH PILLAR
Berawal dari pertemuan antara Dewa Anggoro Sanjaya dan Eka Noermanita Rahayu bak cerita manis romansa yang hanya ada di dalam film. Mereka bertemu ketika keduanya masih duduk di sekolah dasar, menjalin pertemanan sebab memiliki pandangan yang sama dan ingin menjadi juara kelas.
Pertemanan itu berlanjut menjadi persahabatan, sampai konsep tidak-ada-persahabatan-antara-pria-dan-wanita menyentuh permukaan. Dewa & Eka memutuskan untuk menjalin hubungan romansa kala memasuki sekolah menengah atas.
Semasa akhir masa sekolah hingga kuliah, Dewa semakin menggeluti hobi yang ia miliki, berhubungan dengan otomotif. Hobi ini didapatnya karena menyukai menemani sang Ayah pergi ke bengkel dan mengamati lingkungan sekitar. Ia memulainya dari mengotak-atik yang berujung pada menguasai bidang otomotif.
Setelah Dewa lulus kuliah dan siap untuk memasuki dunia kerja, ia mendapatkan mandat untuk meneruskan salah satu anak perusahaan dibawah naungan Sanjaya Group yang bergerak dibidang otomotif, Sanjaya Auto Wheels.
Mengingat pekerjaan sudah di tangan, Dewa semakin percaya diri untuk mengambil langkah lanjut dengan Eka. Mereka memilih jalan sakral, yaitu pernikahan yang berlangsung pada tahun 1992.
Setelah menikah, Eka mengungkapkan ketertarikannya pada bidang busana yang sudah ada sejak dulu. Ia ingin mewujudkannya dengan menjadi Fashion Designer. Dewa pun tidak masalah dengan keinginan Eka, ia merasa senang dan bangga atas istrinya. Bahkan, juga membantu Eka untuk menemukan tempat atau perusahaan yang cocok untuk Eka bekerja.
Akhirnya, keduanya pun memilih untuk pindah dan tinggal di Ibu Kota guna mempeluas sayap bisnis yang dijalani.
Pasangan Dewa dan Eka dikarunai 1 orang anak laki-laki, 2 anak perempuan. Dewa dan Eka mengetahui bahwa ketiga anaknya memiliki minat dan bakat berbeda, sebagai orangtua mereka ingin mendukung minat anak-anaknya dan memberikan kebebaskan anak-anaknya untuk memilih masa depan mereka. Namun meskipun begitu Dewa dan Eka selalu menekankan bahwa suatu saat nanti anak-anaknyalah yang akan melanjutkan perusahaan keluarga maka dari itu mereka selalu mengingatkan agar anaknya tetap ikut berpartisipasi untuk mengelola perusahaan sejak dini.
Meskipun memiliki latar belakang keluarga menengah keatas, Dewa mendidik anaknya agar mandiri dan mendapatkan keinginan mereka dengan usaha mereka sendiri dengan begitu anaknya mengerti apa arti kehidupan.
Dewa merupakan sosok yang tegas dan berwibawa namun ia sangat lembut dan penyayang kepada keluarganya.
Sedangkan Eka sama seperti kebanyakan ibu lainnya yang memiliki sikap lembut dan mengayomi, ia selalu percaya, mendukung semua keinginan dan apa yang di kerjakan oleh anak-anaknya.
Pada tahun 1993, pasangan Dewa dan Eka dikaruniai seorang bayi laki-laki yang diberi nama Garda Kean Abhivandya Sanjaya.
Garda tumbuh menjadi seorang pria yang cerdas dan mandiri. Keberuntungan yang didapat dari keluarganya yang sangat berada membawanya melanjutkan pendidikan tinggi diluar negeri. Meski disibukkan dengan bisnis dan pekerjaan, kedua orangtuanya berusaha mendidik Garda dengan baik dengan harapan agar ia dapat meneruskan bisnis yang diturunkan dari ayahnya kelak.
Sebagai anak pertama dan seorang laki-laki, ia mengemban tanggung jawab yang besar untuk keluarganya nanti di masa depan. Disamping pekerjaannya diperusahaan otomotif milik keluarga yang dikepalai oleh ayahnya, Garda juga merintis karirnya dari awal yaitu sebuah bisnis yang bergerak dalam bidang event creator.
Ainsley Azkayra Sanjaya, anak kedua pasangan Dewa dan Eka yang lahir tahun 1999. Berbeda dengan adiknya Ainsley atau yang sering disapa iLey itu memiliki pribadi bebas dan sedikit lebih maskulin dalam ekspresi penampilan dan kepribadian, tak jarang membuatnya sering beradu argumen dengan sang mama perihal pakaian. Namun ia tetaplah seorang anak perempuan yang lembut dan ceria, ia selalu bermanja dan mengadu pada kedua orangtuanya.
Ainsley memiliki ketertarikan dibidang yang sama seperti kakak pertamanya, tak jarang ia ikut menjadi salah satu volunteer sebuah event acara baik yang dibuat langsung oleh kakaknya atau orang lain, ia selalu mengajukan diri.
Kepribadiannya yang bebas membuatnya memiliki rasa pemasaran yang tinggi dan membuatnya tak ragu untuk mencoba hal baru, walau terkadang ia gagal jatuh terpuruk namun berkat kedua orangtua, kakak dan adiknya, ia selalu bisa bangkit dan bersemangat lagi.
Tahun 2000, pasangan Dewa dan Eka kembali diberi karunia. Baby Sonia Giselle Halena Sanjaya lahir dan menjadi pelengkap keluarga kecil mereka. Sonia adalah anak yang sangat manja dibandingkan Ainsley. Ia merasa harus mendapatkan keinginannya tanpa harus menunggu waktu lama, sekarang itu juga. Walaupun seperti itu, Dewa tidak memberikan segalanya kepada Sonia. Dewa benar-benar tegas pada bidang pendidikan, ia mendaftarkan anak terakhirnya di sekolah sekretaris—guna membekalinya dengan ilmu yang dapat berguna kelak di perusahaannya.
Sonia menunjukkan sisi mandiri terhadap bidang yang ia geluti, yaitu menulis. Sang puan tidak pernah meminta bantuan orang tua dalam mempublikasikannya, ia melakukannya dengan usaha sendiri. Menulis dijadikan salurannya untuk mengisi waktu luang, juga bekerja paruh waktu agar tidak bosan di rumah dan mendapatkan koneksi baru.